Obyek ijma' ialah semua
peristiwa atau kejadian yang tidak ada dasarnya dalarn al-Qur'an dan al-Hadits,
peristiwa atau kejadian yang berhubungan dengan ibadat ghairu mahdhah (ibadat
yanng tidak langsung ditujukan kepada Allah SWT) bidang mu'amalat, bidang
kemasyarakatan atau semua hal-hal yang berhubungan dengan urusan duniawi tetapi
tidak ada dasarnya dalam al-Qur'an dan al-Hadits
PENGERTIAN
IJMA’
Ijma' menurut bahasa Arab
berarti kesepakatan atau sependapat tentang sesuatu hal, seperti perkataan
seseorang ()
yang berati "kaum itu telah sepakat (sependapat) tentang yang demikian
itu." [1]
Menurut istilah ijma', ialah
kesepakatan mujtahid ummat Islam tentang hukum syara' dari peristiwa yang
terjadi setelah Rasulullah SAW meninggal dunia. Sebagai contoh ialah setelah
Rasulullah SAW meninggal dunia diperlukan pengangkatan seorang pengganti beliau
yang dinamakan khalifah. Maka kaum muslimin yang ada pada waktu itu sepakat
untuk mengangkat seorang khalifah dan atas kesepakatan bersama pula diangkatlah
Abu Bakar RA sebagai khalifah pertama.
Sekalipun pada permulaannya ada
yang kurang menyetujui pengangkatan Abu Bakar RA itu, namun kemudian semua kaum
muslimin menyetujuinya. Kesepakatan yang seperti ini dapat dikatakan ijma'.
DASAR
HUKUM IJMA’
Dasar hukum ijma' berupa
aI-Qur'an, al-Hadits dan akal pikiran.
a. Al-Qur'an
Allah
SWT berfirman:
Artinya: "Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan ulil amri
diantara kamu." (an-Nisâ': 59)
Perkataan amri yang
terdapat pada ayat di atas berarti hal, keadaan atau urusan yang
bersifat umum meliputi urusan dunia dan urusan agama. Ulil amri dalam urusan
dunia ialah raja, kepala negara, pemimpin atau penguasa, sedang ulil amri dalam
urusan agama ialah para mujtahid.
Dari ayat di atas dipahami
bahwa jika para ulil amri itu telah sepakat tentang sesuatu ketentuan atau
hukum dari suatu peristiwa, maka kesepakatan itu hendaklah dilaksanakan dan
dipatuhi oleh kaum muslimin.
Firman
AIlah SWT:
Artinya:
"Dan berpeganglah kamu
semuanya kepada tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai-berai." (Ali
Imran: 103)
Ayat ini memerintahkan kaum
muslimin bersatu padu, jangan sekali-kali bercerai-berai. Termasuk dalam
pengertian bersatu itu ialah berijma' (bersepakat) dan dilarang bercerai-berai,
yaitu dengan menyalahi ketentuan-ketentuan yang telah disepakati oleh para
mujtahid.
Firman
Allah SWT:
: "Dan barangsiapa yang
menantang Rasul setelah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan
jalan orang-orang yang beriman, Kami biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan
yang telah dikuasainya itu dan Kami masukan ia ke dalam jahannam dan jahannam
itu seburuk-buruk tempat kembali." (an-Nisâ': 115)
Pada ayat di atas terdapat
perkataan sabîlil mu'minîna yang berarti jalan orang-orang yang
beriman. Jalan yang disepakati orang-orang beriman dapat diartikan dengan
ijma', sehingga maksud ayat ialah: "barangsiapa yang tidak mengikuti ijma'
para mujtahidin, mereka akan sesat dan dimasukkan ke dalam neraka."
b. AI-Hadits
Bila para mujtahid telah
melakukan ijma' tentang hukum syara' dari suatu peristiwa atau kejadian, maka
ijma' itu hendaklah diikuti, karena mereka tidak mungkin melakukan kesepakatan
untuk melakukan kesalahan apalagi kemaksiatan dan dusta, sebagaimana sabda Rasulullah
SAW:
Artinya: "umatku tidak
akan bersepakat untuk melakukan kesalahan." (HR. Abu Daud dan
Tirmidzi)
c. Akal pikiran
Setiap ijma' yang dilakukan
atas hukum syara', hendaklah dilakukan dan dibina atas asas-asas pokok ajaran
Islam. Karena itu setiap mujtahid dalam berijtihad hendaklah mengetahui
dasar-dasar pokok ajaran Islam, batas-batas yang telah ditetapkan dalam
berijtihad serta hukum-hukum yang telah ditetapkan. Bila ia berijtihad dan
dalam berijtihad itu ia menggunakan nash, maka ijtihadnya tidak boleh melampaui
batas maksimum dari yang mungkin dipahami dari nash itu.
Sebaliknya jika dalam
berijtihad, ia tidak menemukan satu nashpun yang dapat dijadikan dasar
ijtihadnya, maka dalam berijtihad ia tidak boleh melampaui kaidah-kaidah umum
agama Islam, karena itu ia boleh menggunakan dalil-dalil yang bukan nash,
seperti qiyas, istihsan dan sebagainya.
Jika semua mujtahid telah
melakukan seperti yang demikian itu, maka hasil ijtihad yang telah dilakukannya
tidak akan jauh menyimpang atau menyalahi al-Qur'an dan al-Hadits, karena
semuanya dilakukan berdasar petunjuk kedua dalil ltu. Jika seorang mujtahid
boleh melakukan seperti ketentuan di atas, kemudian pendapatnya boleh
diamalkan, tentulah hasil pendapat mujtahid yang banyak yang sama tentang hukum
suatu peristiwa lebih utama diamalkan.
Pengertian Ijma
1. Pengertian ijma
Ijma didefinisikan sebagai kesepakatan bulat mujtahid muslim
dari
suatu periode setelah wafatnya nabi Muhammad SAW tentang suatu masalah hukum islam.
Menurut defenisi ini, rujukan kepada Mujtahid menyampingkan kesepakatan orang-orang
awam dari lingkup ijma. Demikian halnya, dengan merujuk kepada mujtahid suatu
periode, berarti periode dimana ada sejumlah mujtahid pada waktu
terjadinya suatu peristiwa. Oleh karena
itu,tidak diperhitungkan sebagai ijma apabila seorang mujtahid atau sejumlah mujtahid baru
muncul setelah terjadinya peristiwa itu.
Jadi ijma hanya dapat terjadi setelah wafatnya nabi, karena
selama masih hidup, nabi sendirilah yang memegang otoritas tertinggi atas syari’ah. Sehingga kesepakatan atau
ketidak kesepakatan orang lain tidak mempengaruhi otoritasnya.[2][1]
Menurut imam Al- syafi’I, pada
pokoknya ijma’ adalah kesepakatan para ulama (ahl al- ‘ilm) tentang suatu hukum syariah. Ahl al- ‘ilm yang
dimaksudkannya ialah para ulama yang dianggap sebagai faqih dan fatwa serta
keputusannya diterima oleh penduduk di suatu negeri.
Batasan ijma
Menurut Al-Syafi’I ijma’ hanya terjadi pada masalah-masalah
yang bersifat ma’lum minaddin biddoruroh
dalam arti masalah-masalah yang harus diketahui oleh seluruh lapisan umat
islam. Seperti masalah kewajiban sholat.
Kehujjahan ijma
Al-
Syafi’I menegaskan bahwa ijma’ merupakan dalil yang kuat, pasti, serta berlaku
secara luas, pada semua bidang. Seperti yang pernah dikatakannya bahwa ijma’
adalah hujjah atas segala sesuatunya karna ijma’ itu tidak mungkin salah.
Sesuatu yang telah disepakati oleh generasi terdahulu, walaupun mereka tidak
mengemukakan dalil kitab atau sunnah, dipandangnya sama dengan hukum yang
diatur berdasarkan sunnah yang telah disepakati. Menurutnya, kesepakatan atas
suatu hukum menunjukkan bahwa hukum itu tidak semata- mata bersumber dari ra’yu
(pendapat), karena ra’yu akan selalu berbeda- beda.
Secara
berhati- hati, al- Syafi’I menegaskan bahwa ijma’yang tidak didukung oleh
hadis, tidak boleh dianggap sebagai periwayatan hadis. Jadi, dalam hal ini,
kesepakatan mereka itulah yang diikuti. Kalau saja tentang masalah itu terdapat
hadis, tentu ada di antara mereka yang mengetahuinya dan tidak mungkin mereka
semua sepakat atas sesuatu yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah SAW atau
sepakat atas sesuatu yang salah.
Untuk menegakkan ke- hujjah- an ijma
itu, al- syafi’I mengemukakan ayat,Q. S. Al- Nisa’: 115.
"Dan barangsiapa yang
menantang Rasul setelah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan
jalan orang-orang yang beriman, Kami biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan
yang telah dikuasainya itu dan Kami masukan ia ke dalam jahannam dan jahannam
itu seburuk-buruk tempat kembali." (an-Nisâ': 115)
Ayat
ini menyatakan ancaman terhadap orang
yang mengikuti jalan yang bukan jalan orang- orang mukmin. Menurut al- syafi’I,
orang yang tidak mengikuti ijma’ berarti telah mengikuti jalan lain, selain
jalan orang mukmin. Jadi, orang yang tidak mengikuti ijma’ mendapat ancaman
dari Allah SWT. Dengan demikian, jelaslah bahwa ijma’ wajib diikuti dan karena
itu ijma’ adalah hujjah.[3][4]
Prosedur ijma
1. Prosedur ijma
Dalam
masalah- masalah yang tidak diatur secara tegas dalam Al- qur’an ataupun
sunnah, sehingga hukumnya harus dicari melalui ijtihad, jelas terbuka peluang
untuk berbeda pendapat. Berkenaan dengan ini, para mujtahid diberi
kebebasan,bahkan keharusan untuk bertindak atau berfatwa sesuai dengan hasil
ijtihadnya masing- masing. Lebih lanjut, fatwa-fatwa mereka itu tidak bersifat
mengikat. Masalah- masalah tersebut tetap terbuka sebagai lapangan ijtihad bagi
ulama yang datang kemudian dan orang awam bebas memilih untuk mengikuti salah
satu dari pendapat yang ada. Akan tetapi dalam kasus- kasus tertentu, setelah
melakukan ijtihad sesuai dengan kemampuan masing- masing, seluruh ulama sampai
pada kesimpulan yang sama sehingga terbentuklah suatu kesepakatan tentang
hukumnya.
Adapun
prosedur ijma’ meliputi rukun- rukunnya sebagai berikut:
a. Adanya semua ahli ijtihad ketika
terjadinya suatu kejadian, karena kebulatan pendapat tidak mungkin terjadi
tanpa adanya beberapa pendapat yang masing- masing terdapat persesuaian.
b. Kebulatan pendapat ahli ijtihad itu
diiringi dengan pendapat- pendapat mereka masing- masing secara jelas mengenai
kejadian, baik yang dikemukakan secara qauli
(perkataan), maupun secara fi’li
(perbuatan). Secara qauli misalnya memberikan fatwa tentang suatu kejadian,
sedangkan secara fi’li, misalnya menetapkan keputusan tentang suatu kejadian
atau mengemukakan secara
c. pribadi dan setelah pendapat-
pendapat mereka terkumpul tampak melahirkan kebulatan pendapat sepakat atau
menampilkan pendapatnya secara kelompok, maka terdapatlah ijma’.
d. Kesepakatan para ahli ijtihad itu
dapat diwujudkan dalam suatu hukum, apabila sebagian para ahli ijtihad telah
mengadakan kesepakatan. Dan adakalanya ijma’ itu tidak dapat ditetapkan dengan jumlah kesepakatan
mayoritas, manakala jumlah yang tidak sependapat itu minoritas dan jumlah yang
sepakat mayoritas. dengan demikian berarti masih ada perbedaan pendapat yang
mungkin salah pada satu pihak, dan benar dipihak lain.maka kebulatan pendapat
dari mayoritas tidak dapat dijadikan hujjah secara pasti yang kuat.[4][6]
Dari
segi cara terjadinya, ijma dibagi ke dalam dua jenis:
1.
Ijma eksplisit (al- ijma al- sarih),
dimana setiap mujtahid mengemukakan pendapatnya baik secara lisan maupun
perbuatan.
2.
Ijma diam- diam (al- ijma al-
sukuti), dimana beberapa mujtahid suatu masa mengemukakan pendapat tentang
suatu peritiwa sementara yang lain tetap diam.
DAFTAR PUSTAKA
Ø Dr. H. Abdullah, Sulaiman. 1996. Dinamika qias dalam pembaharuan hukum islam.
Jakarta:
Pedoman Ilmu Jaya
Ø Drs. H.Rifai, Muhammad. 1988. Ushul fiqih. Semarang: Wicaksana
Ø Dr. Hasyim Kamali, Muhammad. 1996. Prinsip dan teori-teori hukum islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset
Ø Dr. nasution, lahmuluddin. 2001. Pembaharuan hukum islam. Bandung: PT Remaja Rodakarya
[2][1] DR. Muhammad Hashim Kamali, prinsip dan teori- teori hukum islam, Yogyakarta: pustaka pelajar offset, 1996, hal. 219- 220.
Silahkan baca juga >>>>:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar