\
Makalah ini disusun guna memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Kepesantrenan
Disusun Oleh :
NURIL
BADRIYAH
FAKULTAS TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)
AL-MUHAMMAD CEPU
I.
PENDAHULUAN
Perkawinan amat
penting dalam kehidupan manusia, baik perseorangan maupun kelompok. Dengan
jalan perkawinan yang sah, pergaulan laki-laki dan perempuan terjadi secara
terhormat sesuai kedudukan manusia sebagai makhluk yang berkehormatan.
Pergaulan hidup berumahtangga dibina dalam suasana damai, tentram, dan rasa
kasih sayang antara suami dan istri. Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa.[1]
Pernikahan
merupakan sunnatullah yang umum dan berlaku pada semua makhluk ciptaan-Nya,
baik pada manusia, hewan maupun tumbuhan. Inilah cara yang di pilih Allah SWT
sebagai jalan untuk makhluknya untuk berkembangbiak dan melestarikan hidupnya.
Seperti yang terkandung dalam firman Allah SWT (Q.S An-Nisa 1):
Artinya:
”Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada
tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari yang satu, dan dari padanya. Allah
menciptakan isterinya dan dari pada keduanya Allah memperkembangbiakan
laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan
(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah)
hubungan silahturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu” [2]
Di dalam Q.S Yaasin ayat 36 juga di
jelaskan yang mana bunyinya:
Artinya:
”Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan
pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang di tumbuhkan oleh bumi dan dari
diri mereka maupun dari apa yang tidak kita ketahui”[3]
Upacara
perkawinan memiliki banyak ragam dan variasi diantara bangsa, suku satu dan
yang lain, agama, budaya, maupun kelas sosial. Penggunaan atau aturan tertentu
kadang-kadang berkaitan dengan aturan atau hukum agama tertentu pula. Upacara
perkawinan sendiri biasanya merupakan acara yang dilangsungkan untuk melakukan upacara
berdasarkan adat istiadat yang berlaku. Sedangkan perkawinan secara adat
merupakan salah satu unsur kebudayaan yang sangat luhur dan asli dari nenek
moyang kita yang perlu dilestarikan, agar generasi berikutnya tidak kehilangan
jejak.
Upacara perkawinan
adat mempunyai nilai luhur dan suci meskipun diselenggarakan secara sederhana
sekali. Di tiap-tiap daerah mempunyai upacara tersendiri sesuai dengan adat
istiadat setempat. Ini bisa dikatakan seperti negara kita yang terdiri dari
berbagai suku bangsa dengan adat istiadat dan upacara perkawinan yang berbeda
dengan keunikan masing-masing.
Bahkan
dikarenakan perbedaan-perbedaan hukum adat yang berlaku setempat, seringkali
menimbulkan perselisihan antara pihak yang bersangkutan. Jika terjadi
perselisihan maka dalam mencari jalan penyelesaiannya bukanlah ditangani
pengadilan agama atau pengadilan negeri, tetapi ditangani oleh pengadilan
keluarga atau kerabat yang bersendikan kerukunan, keselarasan, dan kedamaian.
Oleh karenanya disamping perlu memahami hukum perkawinan menurut
perundangundangan, perlu pula memahami hukum perkawinan adat.[4]
Selain itu dengan adanya masyarakat mempunyai anggapan
bahwa anak adalah titipan dari Tuhan maka anak merupakan tangung jawab orang
tua. Jadi apabila seorang anak itu segera dinikahkan maka telah usailah
tanggung jawab yang mereka emban, sehingga tidak ada lagi kekhawatiran dari
orang tua terhadap anaknya khususnya anak wanita apabila menjadi perawan tua. Untuk
mengatasi kekhawatiran tersebut masyarakat jawa umumnya khususnya masyarakat
daerah Solo dan Jogjakarta
melakukan acara nontoni pada saat pra nikah. Hal ini dapat
memungkinkan masyarakat setempat untuk menikahkan anak-anak mereka sesuai
dengan harapan mereka semua.
Di
dalam masyarakat sebuah pertunangan bukan merupakan jaminan sebuah perkawinan
dapat dilaksanakan, begitu pula nontoni. Seorang pasangan yang telah
melaksanakan nontoni belum tentu bisa melangsungkan perkawinan, oleh
karena itu kemungkinan batalnya perkawinan ada. Pada dasarnya pertuangan masih
mungkin dibatalkan dalam hal-hal sebagai berikut: (1) Kalau pembatalan itu
memang menjadi kehendak kedua belah pihak yang baru timbul setelah pertunangan
berjalan beberapa waktu lamanya. (2) Kalau salah satu pihak tidak memenuhi
janjinya, kalau yang menerima tanda tunangan tidak memenuhi janjinya, maka
tanda itu harus dikembalikan sejumlah atau berlipat dari yang diterima,
sedangkan kalau pihak yang lain yang tidak memenuhi janjinya,maka tanda
tunangan tidak perlu dikembalikan[5]
II. RUMUSAN MASALAH
Dengan perkembangannya
muncul beberapa persoalan yang perlu mendapat penekanan dan
pengejewantahan serta pembedaan yang benar tentang berbagai hal yang
berhubungan dengan budaya nontoni calon pengantin pada masyarakat Jawa,
diantaranya:
1. Pengertian
Nontoni
2. Batasan – batasan Budaya Nontoni
3. Ciri-ciri dari (budaya)
perkawinan Jawa.
III.
METODE
Metode Pendekatan
yang digunakan dalam makalah ini adalah dengan metode pendekatan kualitatif.
Metodologi kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku
yang dapat diamati[6]
Makalah ini
mencoba menjelaskan, menyelidiki, dan memahami pelaksanaan dari tradisi nontoni
dan mengetahui konsekuensi pelaksanaan tradisi nontoni apabila
perkawinan batal dilaksanakan pada masyarakat, dengan fokus penelitian: (1)
Pelaksanaan tradisi nontoni yang mencakup latar belakang pelaksanaan,
waktu dan tempat pelaksanaan, bawaan, dan tahapan pelaksanaan, (2) Konsekuensi
pelaksanaan tradisi nontoni jika perkawinan batal dilaksanakan.Sumber
data makalah adalah subjek darimana dapat diperoleh.[7]
Sumber data
makalah berasal dari sumber primer yang
diperoleh melalui buku-buku referensi
dan browsing data di internet Data yang diperoleh berupa data kualitatif
kemudian diolah dengan model interaktif, yang meliputi langkah-langkah sebagai
berikut: reduksi data, sajian data, penarikan kesimpulan atau verifikasi.[8]
IV.
PEMBAHASAN
- Pengertian, Nontoni
Nontoni adalah upacara
untuk melihat calon pasangan yang akan dikawininya. Dimasa lalu orang yang akan
nikah belum tentu kenal terhadap orang yang akan dinikahinya, bahkan
kadang-kadang belum pernah melihatnya, meskipun ada kemungkinan juga mereka
sudah tahu dan mengenal atau pernah melihatnya.[9]
Agar ada gambaran siapa jodohnya
nanti maka diadakan tata cara nontoni. Biasanya tata cara ini diprakarsai pihak
pria. Setelah orang tua si perjaka yang akan diperjodohkan telah mengirimkan
penyelidikannya tentang keadaan si gadis yang akan diambil menantu.
Penyelidikan itu dinamakan dom sumuruping banyu atau penyelidikan secara
rahasia.
Setelah hasil nontoni ini
memuaskan, dan siperjaka sanggup menerima pilihan orang tuanya, maka diadakan
musyawarah di antara orang tua / pinisepuh si perjaka untuk menentukan tata
cara lamaran.[10]
- Batasan – batasan Budaya Nontoni
Pada zaman dahulu orang
tualah yang aktif mencarikan jodoh anaknya. Apabila orang tua pihak laki-laki
mempunyai pandangan calon menantu yang dianggap cocok, si calon pengantin
laki-laki diajak ke rumah melihat calon istri untuk melihatnya (nontoni dalam
bahasa Jawa). Pada waktu nontoni, si calon pengantin
perempuan disuruh mengeluarkan minuman, lalu diajak duduk sebentar oleh orang
tuanya. Setelah itu pihak orang tua si perempuan dan orang tua si laki-laki
mengadakan pembicaraan panjang lebar.[11]
Apabila pihak laki-laki
sudah cocok dan pihak perempuan setuju, pihak keluarga laki-laki lalu datang
lagi untuk meminang. Dalam acara meminang, biasanya pihak keluarga laki-laki
sudah membawa bingkisan pertunangan sebagai tanda ikatan pertunangan. Pada hari
yang sudah ditetapkan, kedua calon mempelai itu dinikahkan secara resmi menurut
hukum agama. Setelah pernikahan selesai, dilanjutkan resepsi sesuai dengan adat
yang berisi serentetan mata acara dari pembukaan sampai penutup.[12]
- Ciri-ciri dari (budaya) perkawinan Jawa.
Masyarakat Jawa dalam hal
perkawinana melalui beberapa tahapan. Biasanya seluruh rangkaian acara
perkawinan berlangsug selama kurang lebih dua bulan, mencangkup :
- Nontoni; Melihat calon istri dan keluarganya, dengan mengirim utusan (wakil).
- Nglamar (meminang); Tahapan setelah nontoni apabila si gadis bersedia dipersunting.
- Paningset ; Pemberian harta benda, berupa pakaian lengkap disertai cin-cin kawin.
- Pasok Tukon ; Upacara penyerahan harta benda kepada keluarga si gadis berupa uang,pakaian dan sebagainya, diberikan tiga hari sebelum pernikahan.
- Pingitan ; Calon istri tidak diper4bolehkan keluar rumah selama 7 hari atau 40 hari sebelum perkawinan.
- Tarub ; Mempersiapkan perlengkapan perkawianan termasuk menghias rumah dengan janur.
- Siraman ; Upacara mandi bagi calon pengantin wanita yang dilanjutkan dengan selamatan.
- Ijab Kabul (Akad Nikah); Upacara pernikahan dihadapan penghulu, disertai orang tua atau Wali dan saksi-saksi.
- Temon (Panggih manten); Saat pertemuan pengantin pria dengan wanita.
- Ngunduh Mantu (ngunduh temanten) ; Memboyong pengantin wanita kerumah pengantin pria yang disertai pesta ditempat pengantin pria.[13]
Jika di dalam perkawinan
ada masalah antara suami istri maka dapat dilakukan "Pegatan"
(Perceraian). Jika istri menjatuhkan cerai di sebut "talak" sedangkan
istri meminta cerai kepada suami di sebut "talik". Jika keinginan
isteri tidak di kabulkan oleh suami istri mengajukan ke pengadilan maka di
sebut "rapak". Jika ingin kembali lagi jenjang waktunya mereka rukun
kembali adalah 100 hari di namakan "Rujuk" jika lebih dari 100 hari
dinamakan "balen" (kembali). Setelah cerai seorang janda boleh
menikah dengan yang lain setelah "masa Iddah".[14]
Ada
bentuk perkawinan lain yaitu :
·
Perkawinan Magang
·
Perkawinan triman
·
Perkawinan unggah unggahi
·
Perkawinan paksa. [15]
Selain masalah perkawinan
juga ada keunikan lain yaitu, Orang Jawa yang
mayoritas memeluk agama Islam. Sebagian memeluk Nasrani, Hindu, Budha,
dan aliran Kejawen. Orang jawa yang menganut kejawen percaya bahwa hidup di
dunia ini sudah diatur dalam alam semesta, sehingga mereka bersikap pasrah
kepada takdir dan bersikap "Nrima" ( pasrah ). Orang jawa memeluk
agama Islam di bedakan menjadi dua yaitu "Islam santri" dan
"Islam Kejawen", disamping orang-orang Jawa masih percaya kepada
kekuatan gaib yaitu kekuatan yant melebihi kekuatan lain yang di sebut
"Kasakten" (kesaktian). Selain itu juga percaya kepada arwah leluhur
dan makhluk-makhluk halus seperti Memedi, tuyul, lelembut dan jin.[16]
Selain itu masyarakat
Jawa percaya terhadap hal-hal tertentu yang dianggap keramat, yang dapat
mendatangkan mala petaka jika di tintang atau diabaikan. Kepercayaan itu
diantaranya :
·
Kepercayaan terhadap Nyi roro kidul
·
Kepercayaan kepada hari kelahiran (Wathon)
·
Kepercayan terhadap hari-hari yang dianggap baik
·
Kepercayaan kepada Nitowong
·
Kepercayaan kepada dukun prewangan.[17]
Masyarakat suku jawa
khususnya yang berada di pedesaan sering kali mengadakan upacara selamatan
untuk tujuan tertentu yang biasanya dipimipin oleh seorang "Mudin"
dalam membaca doa. Upacara seperti itu di golongkan menjadi 6 macam antara lain
:
·
Selamatan memperingati siklus hidup
·
Selamatan berkaitan dengan kehidupan Desa
·
Selamatan menjelang pernikahan
·
Selamatan berkaitan dengan kejadian tertentu
·
Selamatan untuk memperingati hari besar
keagamaan
·
Selamatan memperingati meninggalnya seseorang.[18]
V.
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Islam sebagai agama
adalah wahyu Allah SWT yang di turunkan kepada nabi Muhammad SAW yang di rintis
Tuhan sejak nabi adam sampai. berupa ajaran yang berisi perintah,
larangan dan petunjuk untuk kebahagiaan hidup manusia di dunia dan di akhirat.
Sedangkan kebudayaaan adalah proses dinamis dan produk dari pengolahan dari
manusia dalam lingkungannya untuk pencapaian tujuan akhir individu dan masyarakat.
Jadi dapat diambil
kesimpulan kebudayaan Islam dan kebudayaan Jawa adalah perpaduan dua unsur
yaitu budaya Islam dan budaya Jawa. Perpaduan antara kedua unsur tersebut akan
melahirkan karakteristik dan kekhasan budaya Islam yang ada di Jawa, artinya
kebudayaan hanyalah sebagai wadah guna menyebarluaskan ajaran Islam, sedangkan
nilai keIslaman menjadi titik nadi dan isi dari kebudayaan itu sendiri. Oleh
karena itu, Islam yang berada di Jawa realisasi ajaran keagamaanya tidak
semurni islam yang diajarkan di makkah dan sekitarnya, hal ini di akibatkan
santun dan terbukanya islam dalam masuk kesegala lini kehidupan, salah satunya
melalui kebudayaan. biasanya di sebut “Islam kejawen”.
B.
PENUTUP
Demikianlah makalah ini kami sampaikan, terhadap
segala kekurangan dan kesalahan, penyusun mohon maaf yang sebesar-besarya. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan sebagai media
pembelajaran untuk peningkatan pengetahuan dan intelektualitas penyusun.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk membuka
cakrawala pemikiran dan pengetahuan bagi kami khususnya dan bagi para
pembaca umumnya, selebihnya kami ucapkan terima kasih. Wallahu A’lam
Bissowaab.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama
Republik Indonesia.1989, Al-Qur’an Dan Terjemah, Surabaya:
Mahkota, ---------------- --------------- -----------------.1990, Undang-Undang
Perkawinan Di Indonesia,
Surabaya: Arkola.
Hilman
Hadikusuma, 2003, Hukum Perkawinan Adat Dengan Adat Istiadat Dan Upacara
Adatnya, Bandung:
PT.Citra Aditya Bakti,
Wignjodipoero,
Soerojo. 1987. Pengantar Dan Asas-asas Hukum Adat. Jakarta: Toko Gunung
Agung.
Moleong,
2008. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Arikunto,
S. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta
http://id.wikipedia.org/wiki/Upacara_pernikahan#Nontoni
http://bangkusekolah-id.blogspot.com/2012/09/proses-perkawinan-dan-upacara-adat
-masyarakat-dalam-pernikahan.html
[4] Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat Dengan Adat
Istiadat Dan Upacara Adatnya (Bandung:
PT.Citra Aditya Bakti,2003), Hal. 3
[5] Wignjodipoero, Soerojo. 1987. Pengantar Dan
Asas-asas Hukum Adat. Jakarta:
Toko Gunung Agung, hal. 125-126.
[6] Moleong, 2008. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosdakarya. Hal. 4.
[7] Arikunto, S.
2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta. Hal. 129
[8] Ibid, Hal.. 193
[10] Ibid,
[12] Ibid.html.
Silahkan baca juga >>>>:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar