Kamis, 29 Mei 2014

TRADISI NONTONI CALON PENGANTIN DALAM KEBUDAYAAN JAWA


\
Makalah ini  disusun guna memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Kepesantrenan


Disusun Oleh :

NURIL  BADRIYAH



FAKULTAS  TARBIYAH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)
AL-MUHAMMAD  CEPU




  I.      PENDAHULUAN
Perkawinan amat penting dalam kehidupan manusia, baik perseorangan maupun kelompok. Dengan jalan perkawinan yang sah, pergaulan laki-laki dan perempuan terjadi secara terhormat sesuai kedudukan manusia sebagai makhluk yang berkehormatan. Pergaulan hidup berumahtangga dibina dalam suasana damai, tentram, dan rasa kasih sayang antara suami dan istri. Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.[1]

Pernikahan merupakan sunnatullah yang umum dan berlaku pada semua makhluk ciptaan-Nya, baik pada manusia, hewan maupun tumbuhan. Inilah cara yang di pilih Allah SWT sebagai jalan untuk makhluknya untuk berkembangbiak dan melestarikan hidupnya. Seperti yang terkandung dalam firman Allah SWT (Q.S An-Nisa 1):
Artinya:
”Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari yang satu, dan dari padanya. Allah menciptakan isterinya dan dari pada keduanya Allah memperkembangbiakan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silahturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu” [2]

Di dalam Q.S Yaasin ayat 36 juga di jelaskan yang mana bunyinya:
Artinya:
”Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang di tumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak kita ketahui”[3]

Upacara perkawinan memiliki banyak ragam dan variasi diantara bangsa, suku satu dan yang lain, agama, budaya, maupun kelas sosial. Penggunaan atau aturan tertentu kadang-kadang berkaitan dengan aturan atau hukum agama tertentu pula. Upacara perkawinan sendiri biasanya merupakan acara yang dilangsungkan untuk melakukan upacara berdasarkan adat istiadat yang berlaku. Sedangkan perkawinan secara adat merupakan salah satu unsur kebudayaan yang sangat luhur dan asli dari nenek moyang kita yang perlu dilestarikan, agar generasi berikutnya tidak kehilangan jejak.
Upacara perkawinan adat mempunyai nilai luhur dan suci meskipun diselenggarakan secara sederhana sekali. Di tiap-tiap daerah mempunyai upacara tersendiri sesuai dengan adat istiadat setempat. Ini bisa dikatakan seperti negara kita yang terdiri dari berbagai suku bangsa dengan adat istiadat dan upacara perkawinan yang berbeda dengan keunikan masing-masing.
Bahkan dikarenakan perbedaan-perbedaan hukum adat yang berlaku setempat, seringkali menimbulkan perselisihan antara pihak yang bersangkutan. Jika terjadi perselisihan maka dalam mencari jalan penyelesaiannya bukanlah ditangani pengadilan agama atau pengadilan negeri, tetapi ditangani oleh pengadilan keluarga atau kerabat yang bersendikan kerukunan, keselarasan, dan kedamaian. Oleh karenanya disamping perlu memahami hukum perkawinan menurut perundangundangan, perlu pula memahami hukum perkawinan adat.[4]
Selain itu  dengan adanya masyarakat mempunyai anggapan bahwa anak adalah titipan dari Tuhan maka anak merupakan tangung jawab orang tua. Jadi apabila seorang anak itu segera dinikahkan maka telah usailah tanggung jawab yang mereka emban, sehingga tidak ada lagi kekhawatiran dari orang tua terhadap anaknya khususnya anak wanita apabila menjadi perawan tua. Untuk mengatasi kekhawatiran tersebut masyarakat jawa umumnya khususnya masyarakat daerah Solo dan Jogjakarta  melakukan acara nontoni pada saat pra nikah. Hal ini dapat memungkinkan masyarakat setempat untuk menikahkan anak-anak mereka sesuai dengan harapan mereka semua.

Di dalam masyarakat sebuah pertunan­gan bukan merupakan jaminan sebuah perkawi­nan dapat dilaksanakan, begitu pula nontoni. Seorang pasangan yang telah melaksanakan nontoni belum tentu bisa melangsungkan per­kawinan, oleh karena itu kemungkinan batalnya perkawinan ada. Pada dasarnya pertuangan masih mungkin dibatalkan dalam hal-hal seba­gai berikut: (1) Kalau pembatalan itu memang menjadi kehendak kedua belah pihak yang baru timbul setelah pertunangan berjalan beberapa waktu lamanya. (2) Kalau salah satu pihak tidak memenuhi janjinya, kalau yang menerima tanda tunangan tidak memenuhi janjinya, maka tanda itu harus dikembalikan sejumlah atau berlipat dari yang diterima, sedangkan kalau pihak yang lain yang tidak memenuhi janjinya,maka tanda tunangan tidak perlu dikembalikan[5]

II.      RUMUSAN MASALAH
Dengan perkembangannya muncul beberapa  persoalan yang perlu mendapat penekanan dan pengejewantahan serta pembedaan yang benar tentang berbagai hal yang berhubungan dengan budaya nontoni calon pengantin pada masyarakat Jawa, diantaranya:
1.      Pengertian Nontoni
2.      Batasan – batasan  Budaya Nontoni
3.      Ciri-ciri dari (budaya) perkawinan  Jawa.


III.      METODE
Metode Pendekatan yang digunakan dalam makalah ini adalah dengan metode pendekatan kualitatif. Metodologi kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati[6]
Makalah ini mencoba menjelaskan, menyelidiki, dan memahami pelaksanaan dari tradisi nontoni dan mengetahui konsekuensi pelaksanaan tradisi nontoni apabila perkawinan batal dilaksanakan pada masyarakat, dengan fokus penelitian: (1) Pelaksanaan tradisi nontoni yang mencakup latar belakang pelaksanaan, waktu dan tempat pelaksanaan, bawaan, dan tahapan pelaksanaan, (2) Konsekuensi pelaksanaan tradisi nontoni jika perkawinan batal dilaksanakan.Sumber data makalah adalah subjek darimana dapat diperoleh.[7]
Sumber data makalah berasal dari sumber primer  yang diperoleh  melalui buku-buku referensi dan browsing data di internet Data yang diperoleh berupa data kualitatif kemudian diolah dengan model interaktif, yang meliputi langkah-langkah sebagai berikut: reduksi data, sajian data, penarikan kesimpulan atau verifikasi.[8]

IV.      PEMBAHASAN
  1. Pengertian, Nontoni
Nontoni adalah upacara untuk melihat calon pasangan yang akan dikawininya. Dimasa lalu orang yang akan nikah belum tentu kenal terhadap orang yang akan dinikahinya, bahkan kadang-kadang belum pernah melihatnya, meskipun ada kemungkinan juga mereka sudah tahu dan mengenal atau pernah melihatnya.[9]
Agar ada gambaran siapa jodohnya nanti maka diadakan tata cara nontoni. Biasanya tata cara ini diprakarsai pihak pria. Setelah orang tua si perjaka yang akan diperjodohkan telah mengirimkan penyelidikannya tentang keadaan si gadis yang akan diambil menantu. Penyelidikan itu dinamakan dom sumuruping banyu atau penyelidikan secara rahasia.
Setelah hasil nontoni ini memuaskan, dan siperjaka sanggup menerima pilihan orang tuanya, maka diadakan musyawarah di antara orang tua / pinisepuh si perjaka untuk menentukan tata cara lamaran.[10]

  1. Batasan – batasan  Budaya Nontoni
Pada zaman dahulu orang tualah yang aktif mencarikan jodoh anaknya. Apabila orang tua pihak laki-laki mempunyai pandangan calon menantu yang dianggap cocok, si calon pengantin laki-laki diajak ke rumah melihat calon istri untuk melihatnya (nontoni dalam bahasa Jawa). Pada waktu nontoni, si calon pengantin perempuan disuruh mengeluarkan minuman, lalu diajak duduk sebentar oleh orang tuanya. Setelah itu pihak orang tua si perempuan dan orang tua si laki-laki mengadakan pembicaraan panjang lebar.[11]

Apabila pihak laki-laki sudah cocok dan pihak perempuan setuju, pihak keluarga laki-laki lalu datang lagi untuk meminang. Dalam acara meminang, biasanya pihak keluarga laki-laki sudah membawa bingkisan pertunangan sebagai tanda ikatan pertunangan. Pada hari yang sudah ditetapkan, kedua calon mempelai itu dinikahkan secara resmi menurut hukum agama. Setelah pernikahan selesai, dilanjutkan resepsi sesuai dengan adat yang berisi serentetan mata acara dari pembukaan sampai penutup.[12]

  1. Ciri-ciri dari (budaya) perkawinan  Jawa.
Masyarakat Jawa dalam hal perkawinana melalui beberapa tahapan. Biasanya seluruh rangkaian acara perkawinan berlangsug selama kurang lebih dua bulan, mencangkup :
    • Nontoni; Melihat calon istri dan keluarganya, dengan mengirim utusan (wakil).
    • Nglamar (meminang); Tahapan setelah nontoni apabila si gadis bersedia dipersunting.
    • Paningset ; Pemberian harta benda, berupa pakaian lengkap disertai cin-cin kawin.
    • Pasok Tukon ; Upacara penyerahan harta benda kepada keluarga si gadis berupa uang,pakaian dan sebagainya, diberikan tiga hari sebelum pernikahan.
    • Pingitan ; Calon istri tidak diper4bolehkan keluar rumah selama 7 hari atau 40 hari sebelum perkawinan.
    • Tarub ; Mempersiapkan perlengkapan perkawianan termasuk menghias rumah dengan janur.
    • Siraman ; Upacara mandi bagi calon pengantin wanita yang dilanjutkan dengan selamatan.
    • Ijab Kabul (Akad Nikah); Upacara pernikahan dihadapan penghulu, disertai orang tua atau Wali dan saksi-saksi.
    • Temon (Panggih manten); Saat pertemuan pengantin pria dengan wanita.
    • Ngunduh Mantu (ngunduh temanten) ; Memboyong pengantin wanita kerumah pengantin pria yang disertai pesta ditempat pengantin pria.[13]

Jika di dalam perkawinan ada masalah antara suami istri maka dapat dilakukan "Pegatan" (Perceraian). Jika istri menjatuhkan cerai di sebut "talak" sedangkan istri meminta cerai kepada suami di sebut "talik". Jika keinginan isteri tidak di kabulkan oleh suami istri mengajukan ke pengadilan maka di sebut "rapak". Jika ingin kembali lagi jenjang waktunya mereka rukun kembali adalah 100 hari di namakan "Rujuk" jika lebih dari 100 hari dinamakan "balen" (kembali). Setelah cerai seorang janda boleh menikah dengan yang lain setelah "masa Iddah".[14]
Ada bentuk perkawinan lain yaitu :
·        Perkawinan Magang
·        Perkawinan triman
·        Perkawinan unggah unggahi
·        Perkawinan paksa. [15]

Selain masalah perkawinan juga ada keunikan lain yaitu, Orang Jawa yang  mayoritas memeluk agama Islam. Sebagian memeluk Nasrani, Hindu, Budha, dan aliran Kejawen. Orang jawa yang menganut kejawen percaya bahwa hidup di dunia ini sudah diatur dalam alam semesta, sehingga mereka bersikap pasrah kepada takdir dan bersikap "Nrima" ( pasrah ). Orang jawa memeluk agama Islam di bedakan menjadi dua yaitu "Islam santri" dan "Islam Kejawen", disamping orang-orang Jawa masih percaya kepada kekuatan gaib yaitu kekuatan yant melebihi kekuatan lain yang di sebut "Kasakten" (kesaktian). Selain itu juga percaya kepada arwah leluhur dan makhluk-makhluk halus seperti Memedi, tuyul, lelembut dan jin.[16]

Selain itu masyarakat Jawa percaya terhadap hal-hal tertentu yang dianggap keramat, yang dapat mendatangkan mala petaka jika di tintang atau diabaikan. Kepercayaan itu diantaranya :
·        Kepercayaan terhadap Nyi roro kidul
·        Kepercayaan kepada hari kelahiran (Wathon)
·        Kepercayan terhadap hari-hari yang dianggap baik
·        Kepercayaan kepada Nitowong
·        Kepercayaan kepada dukun prewangan.[17]

Masyarakat suku jawa khususnya yang berada di pedesaan sering kali mengadakan upacara selamatan untuk tujuan tertentu yang biasanya dipimipin oleh seorang "Mudin" dalam membaca doa. Upacara seperti itu di golongkan menjadi 6 macam antara lain :
·        Selamatan memperingati siklus hidup
·        Selamatan berkaitan dengan kehidupan Desa
·        Selamatan menjelang pernikahan
·        Selamatan berkaitan dengan kejadian tertentu
·        Selamatan untuk memperingati hari besar keagamaan
·        Selamatan memperingati meninggalnya seseorang.[18]

V.      PENUTUP
A.     KESIMPULAN
Islam sebagai agama adalah wahyu Allah SWT yang di turunkan kepada nabi Muhammad SAW yang di rintis Tuhan sejak nabi adam sampai. berupa ajaran  yang berisi perintah, larangan dan petunjuk untuk kebahagiaan hidup manusia di dunia dan di akhirat. Sedangkan kebudayaaan adalah proses dinamis dan produk dari pengolahan dari manusia dalam lingkungannya untuk pencapaian tujuan akhir individu dan masyarakat.
Jadi dapat diambil kesimpulan kebudayaan Islam dan kebudayaan Jawa adalah perpaduan dua unsur yaitu budaya Islam dan budaya Jawa. Perpaduan antara kedua unsur tersebut akan melahirkan karakteristik dan kekhasan budaya Islam yang ada di Jawa, artinya kebudayaan hanyalah sebagai wadah guna menyebarluaskan ajaran Islam, sedangkan nilai keIslaman menjadi titik nadi dan isi dari kebudayaan itu sendiri. Oleh karena itu,  Islam yang berada di Jawa realisasi ajaran keagamaanya tidak semurni islam yang diajarkan di makkah dan sekitarnya, hal ini di akibatkan santun dan terbukanya islam dalam masuk kesegala lini kehidupan, salah satunya melalui kebudayaan. biasanya di sebut “Islam kejawen”.

B.     PENUTUP
Demikianlah makalah ini kami sampaikan, terhadap segala kekurangan dan kesalahan, penyusun mohon maaf yang sebesar-besarya. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan sebagai media pembelajaran untuk peningkatan pengetahuan dan intelektualitas penyusun.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk membuka cakrawala pemikiran dan pengetahuan bagi kami khususnya dan  bagi para pembaca umumnya, selebihnya kami ucapkan terima kasih. Wallahu A’lam Bissowaab.



DAFTAR PUSTAKA

Departemen Agama Republik Indonesia.1989, Al-Qur’an Dan Terjemah, Surabaya: Mahkota, ---------------- --------------- -----------------.1990, Undang-Undang Perkawinan Di Indonesia,  
     Surabaya: Arkola.
Hilman Hadikusuma, 2003, Hukum Perkawinan Adat Dengan Adat Istiadat Dan Upacara
Adatnya, Bandung: PT.Citra Aditya Bakti,
Wignjodipoero, Soerojo. 1987. Pengantar Dan Asas-asas Hukum Adat. Jakarta: Toko Gunung
     Agung.
Moleong, 2008. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta
http://id.wikipedia.org/wiki/Upacara_pernikahan#Nontoni
http://bangkusekolah-id.blogspot.com/2012/09/proses-perkawinan-dan-upacara-adat -masyarakat-dalam-pernikahan.html


[1] Undang-Undang Perkawinan Di Indonesia (Surabaya: Arkola), Hal. 5
[2] Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an Dan Terjemah, (Surabaya: Mahkota, 1989), Hal. 77
[3] Ibid, Hal. 442
[4] Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat Dengan Adat Istiadat Dan Upacara Adatnya (Bandung: PT.Citra Aditya Bakti,2003), Hal. 3
[5] Wignjodipoero, Soerojo. 1987. Pengantar Dan Asas-asas Hukum Adat. Jakarta: Toko Gunung Agung, hal. 125-126.
[6] Moleong, 2008. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Hal. 4.
[7]  Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta. Hal. 129
[8]  Ibid, Hal.. 193
[9]  http://id.wikipedia.org/wiki/Upacara_pernikahan#Nontoni
[10] Ibid,
[12] Ibid.html.
[13] Ibid. html.
[14] Ibid. html.
[15] Ibid. html.
[16] Ibid. html.
[17] Ibid. html.
[18] Ibid. html.


Silahkan baca juga >>>>:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
10 Khasiat dan manfaat Ayat Kursi: " 1. Sesiapa yang membaca ayat Kursi dengan istikamah setiap kali selesai sembahyang fardhu, setiap pagi dan petang, setiap kali masuk kerumah atau kepasar, setiap kali masuk ke tempat tidur dan musafir, insyaallah akan diamankan dari godaan syaitan dan kejahatan raja-raja (pemerintah) yang kejam, diselamatkan dari kejahatan manusia dan kejahatan binatang yang memudharatkan. Terpelihara dirinya dann keluarganya, anak-anak nya, hartanya, rumahnya dari kecurian, kebakaran dan kekaraman. 2. Terdapat keterangan dalam kitab Assarul Mufidah, barang siapa yang mengamalkan membaca ayat kursi, setiap kali membaca sebanyak 18 kali, inyaallah ia akan hidup berjiwa tauhid, dibukakan dada dengan berbagai hikmat, dimudahkan rezekinya, dinaikkan martabatnya, diberikan kepadanya pengaruh sehingga orang selalu segan kepadanya, diperlihara dari segala bencana dengan izin Allah s.w.t. 3. Seorang ulama Hindi mendengar dari salah seorang guru besarnya dari Abi Lababah r.a, membaca ayat Kursi sebanyak anggota sujud (7 kali) setiap hari ada benteng pertahanan Rasulallah s.a.w. 4. Syeikh Abul ‘Abas alBunni menerangkan: “Sesiapa membaca ayat Kursi sebanyak hitungan kata-katanya (50 kali), di tiupkan pada air hujan kemudian diminumnya, maka inysyaallah tuhan mencerdaskan akalnya dan memudahkan faham pada pelajaran yang dipelajari. 5. Sesiapa yang membaca ayat Kursi selepas sembahyang fardhu, Tuhan akan mengampunkan dosanya. Sesiapa yang membacanya ketika hendak tidur, terpelihara dari gangguan syaitan, dan sesiapa yang membacanya ketika ia marah, maka akan hilang rasa marahnya. 6. Syeikh alBuni menerangkan: Sesiapa yang membaca ayat Kursi sebanyak hitungan hurufnya (170 huruf), maka insyaallah, Tuhan akan memberi pertolongan dalam segala hal dan menunaikan segala hajatnya, dam melapangkan fikiranyan, diluluskan rezekinya, dihilangkan kedukaannya dan diberikan apa yang dituntutnya. 7. Barang siapa membaca ayat Kursi ketika hendak tidur, maka Tuhan mewakilkan dua malaikat yang menjaga selama tidurnya sampai pagi. 8. Abdurahman bin Auf menerangkan bahawa, ia apabila masuk kerumahnya dibaca ayat Kursi pada empat penjuru rumahnya dan mengharapkan dengan itu menjadi penjaga dan pelindung syaitan. 9. Syeikh Buni menerangkan: sesiapa yang takut terhadap serangan musuh hendaklah ia membuat garis lingkaran denga nisyarat nafas sambil membaca ayat Kuris. Kemudian ia masuk bersama jamaahnya kedalam garis lingkaran tersebut menghadap kearah musuh, sambil membaca ayat Kursi sebayak 50 kali, atau sebanayk 170 kali, insyaallah musuh tidak akan melihatnya dan tidak akan memudharatkannya. 10. Syeikul Kabir Muhyiddin Ibnul Arabi menerangkan bahawa; sesiapa yang membaca ayat Kursi sebayak 1000 kali dalam sehari semalam selama 40 hari, maka demi Allah, demi Rasul, demi alQuran yang mulia, Tuhan akan membukakan baginya pandangan rohani, dihasilkan yang dimaksud dan diberi pengaruh kepada manusia. (dari kitab Khawasul Qur’an)"