MAKALAH USHUL FIQIH
TENTANG IJMA’
STAI AL MUHAMMAD CEPU
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
AL MUHAMMAD CEPU 2013/2014
PENDAHULUAN
1.
PENGERTIAN IJMA’
Ijma’ secara bahasa berarti kebulatan tekad terhadap suatu
persoalan. atau kesepakatan tentang sesuatu masalah.
Ijma' secara
bahasa juga bisa diartikan ( العزم والاتفاق ) Niat yang kuat dan Kesepakatan. Dan
secara istilah berarti
اتفاق مجتهدي هذه الأمة بعد النبي صلّى الله عليه وسلّم
على حكم شرعي
"Kesepakatan
para mujtahid ummat ini setelah wafatnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
terhadap suatu hukum syar'."
Penjelasan :
1. 1. ( اتفاق )
"kesepakatan" yaitu adanya khilaf walaupun dari satu orang,
maka tidak bisa disimpulkan sebagai ijma'.
2. ( مجتهدي
) "Para mujtahid" berarti orang awam
dan orang yang bertaqlid, maka kesepakatan dan khilaf mereka tidak dianggap
sebagai ijma'.
3. ( هذه الأمة
) "Ummat ini" adalah Ijma' selain mereka (ummat Islam), maka
ijma' selain mereka tidak dianggap.
4. ( بعد النبي صلّى الله عليه وسلّم ) "Setelah wafatnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
adalah kesepakatan mereka pada zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka
tidak dianggap sebagai ijma' dari segi keberadaannya sebagai dalil, karena
dalil dihasilkan dari sunnah nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam baik dari
perkataan atau perbuatan atau taqrir (persetujuan), oleh karena itu jika
seorang shahabat berkata : "Dahulu kami melakukan", atau "Dahulu
mereka melakukan seperti ini pada zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
", maka hal itu marfu' secara hukum, tidak dinukil sebagai ijma'.
5. ( على حكم شرعي
) "terhadap hukum syar'i" yaitu kesepakatan mereka dalam hukum akal
atau hukum kebiasaan, maka hal itu tidak termasuk disini, karena pembahasan
dalam masalah ijma' adalah seperti dalil dari dalil-dalil syar'i.
PEMBAHASAN
2. DASAR
HUKUM IJMA’
Para ulama ushul fiqih mendasarkan kesimpulan mereka bahwa
ijma’ adalah sah dijadikan sebagai landasan hukum kepada berbagai argumentasi
antara lain:
1.
Qs.annisa:
115
“ Dan
barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti
jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap
kesesatan yang Telah dikuasainya itu dan kami masukkan ia ke dalam Jahannam,
dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”.
Ayat tersebut mengancam golongan yang menentang Rasulullah dan mengikuti
jalan orang-orang yang bukan mukmin. Dari ayat tersebut dipahami, kata muhammad
abu zahrah, bahwa wajib hukumnya mengikuti jalan orang-orang yang mukmin yaitu
mengikuti kesepakatan mereka.
2. Qs.
Albaqarah; 143
"Dan
demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan
pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia." (QS.
Al-Baqoroh : 143)
Maka firmanNya : "Saksi atas manusia", mencakup persaksian
terhadap perbuatan-perbuatan mereka dan hukum-hukum dari perbuatan mereka, dan
seorang saksi perkataannya diterima.
3. Qs.
Annisa:59
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya)”
Ini Menunjukkan bahwasanya apa-apa yang telah mereka sepakati adalah benar.
4. Hadits
Bila para mujtahid
telah melakukan ijma' tentang hukum syara' dari suatu peristiwa atau kejadian,
maka ijma' itu hendaklah diikuti, karena mereka tidak mungkin melakukan
kesepakatan untuk melakukan kesalahan apalagi kemaksiatan dan dusta,
sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
Artinya: "umatku tidak akan
bersepakat untuk melakukan kesalahan." (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)
5. Akal pikiran
Setiap ijma' yang
dilakukan atas hukum syara', hendaklah dilakukan dan dibina atas asas-asas
pokok ajaran Islam. Karena itu setiap mujtahid dalam berijtihad hendaklah
mengetahui dasar-dasar pokok ajaran Islam, batas-batas yang telah ditetapkan
dalam berijtihad serta hukum-hukum yang telah ditetapkan. Bila ia berijtihad
dan dalam berijtihad itu ia menggunakan nash, maka ijtihadnya tidak boleh
melampaui batas maksimum dari yang mungkin dipahami dari nash itu.
Sebaliknya jika
dalam berijtihad, ia tidak menemukan satu nashpun yang dapat dijadikan dasar
ijtihadnya, maka dalam berijtihad ia tidak boleh melampaui kaidah-kaidah umum
agama Islam, karena itu ia boleh menggunakan dalil-dalil yang bukan nash,
seperti qiyas, istihsan dan sebagainya. Jika semua mujtahid telah melakukan
seperti yang demikian itu, maka hasil ijtihad yang telah dilakukannya tidak
akan jauh menyimpang atau menyalahi al-Qur'an dan al-Hadits, karena semuanya
dilakukan berdasar petunjuk kedua dalil ltu. Jika seorang mujtahid boleh
melakukan seperti ketentuan di atas, kemudian pendapatnya boleh diamalkan, tentulah
hasil pendapat mujtahid yang banyak yang sama tentang hukum suatu peristiwa
lebih utama diamalkan.
3.
OBJEK
IJMA’
Obyek ijma' ialah semua peristiwa
atau kejadian yang tidak ada dasarnya dalarn al-Qur'an dan al-Hadits, peristiwa
atau kejadian yang berhubungan dengan ibadat ghairu mahdhah (ibadat yanng tidak
langsung ditujukan kepada Allah SWT) bidang mu'amalat, bidang kemasyarakatan
atau semua hal-hal yang berhubungan dengan urusan duniawi tetapi tidak ada
dasarnya dalam al-Qur'an dan al-Hadits
4.
KEHUJJAHAN
IJMA’
Jumhur
ulama berpendapat bahwa apabila rukun-rukun ijma’ telah terpenuhi maka ijma’
disebut menjadi hujjah qhat,i wajib diamalkan dan tidak boleh mengingkarinya
bahkan orang yang mengingkarinya dianggap kafir
Alasan
jumhur ulama ushul fiqih yang menyatakan bahwa ijma’merupakan hujjah yang
qhat,idan menempati urutan ke tiga sebagai hukum syara’ adalah:
1. Qs. Annisa: 59
“Hai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu (Qs.
Annisa: 59)”
Lafaz
amr disini artinya urusan. Bebrbentuk umum. Meliputi urusan agama dan urusan
duniawi. Uli ambri duniawi yaitu raja, pemerintah dan para wali. Uli ambri
agama yaitu para mujtahid dan mufti. Sebagian ahli tafsir menafsirkan yang
dimaksud dengan ulil ambri dalam ayat ini adalah ulama.dan sebagian lagi
menafsirkan yaitu pemerintah dan para wali. Ulil ambri itu berkumpul dan
memecahkan masalah tasyri’ para mujtahid itu harus diikuti dan hukum itu harus
dilaksakan.
2.
Alasan jumhur ulama dari hadis
adalah sabda rasulullah saw:
Artinya: "umatku tidak akan
bersepakat untuk melakukan kesalahan." (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)
Dalam
hadis lain rasulullah saw bersabda: “saya mohon pada allah agar ummatku
tidak sepakat melakukan kesesatan lalu allah mengabulkannya. (HR. Ahmad ibn
hanbal dan Tabrani)
Lebih
lajut rasulullah SAW bersabda: “ golongan umatku senantiasa berada dalam
kebenaran yang nyata dan mereka tidak akan mendapat mudarat dari orang-orang
yang berbeda pendapat dengan mereka (HR. Bukhari dan muslim)
Seluruh
hadits itu menurut abdul wahab khallaf menunjukan bahwa suatu hukum yang
disepakati oleh seluruh mujtahid sebenarnya merupakan hukum umat islam
selurunya yang diperankan oleh para mujtahid mereka. Oleh sebab itu sesuai
dengan kandungan hadits-hadits diatas tidak mungkin para mujtahid tersebut
melakukan kesalahan dalam menetapkan hukum. Apabila seluruh umat telah sepakat
melalui para mujtahid merekamaka tidak ada alasan untuk menolaknya.
5.
PEMBAGIAN IJMA’
Menurut
Abdul Karim Zaidan, ijma’ terbagi menjadi dua yaitu ijma’ sharih (jelas) dan
ijma’ sukuti (diam/persetujuan yang diketahui lewat diamnya sebagian ulama’).
a.
Ijma’ sharih (jelas), yaitu kesepakatan seluruh
para mujtahid baik dengan perkataan atau perbuatan terhadap suata masalah
tertentu, setiap para mujtahid menyampaikan pendapatnya dengan jelas. Ijma’
seperti ini langka terjadi, apalagi dalam suatu majlis yang dihadiri oleh semua
mujtahid pada suatu masa tertentu, sebagaimana pendapat al-Nazzam bahwa ijma’
seperti ini tidak mungkin terjadi. Tetapi jumhur ulama’ ushul berpendapat
apabila hal ini terjadi dan menghasilkan suatu kesepakatan maka bisa dijadikan
sebagai hujjah syar’iyah dengan tanpa khilaf dan kekuatan hukumnya
bersifat qath’i.
b. Ijma’ sukuti (diam), yaitu kesepakatan sebagian
mujtahid dalam suatu permasalahan dan sebagian mujtahid yang lain tidak
berpendapat (diam) dan tidak mengingkarinya. Ijma’ yang kedua ini, para
ulama’ masih berselisih pendapat apakah termasuk hujjah syar’iyah atau
tidak:
Menurut
Al-Hanafiyah dan Al-Hanabilah dianggap ijma’ dan hujjah qot’iyah karena
diamnya sebagian mujtahid yang lain menunjukkan taslim dan sepakat terhadap
permasalahan tersebut. Selain itu jika dilogikakan, bahwa ijma’ sharih
yang harus disepakati oleh semua mujtahid yang hidup pada masa terjadinya ijma’
dan masing-masing mengemukakan pendapatnya serta menyetujui hukum yang
ditetapkan, maka hal ini tidak mungkin terjadi karena biasanya ijma’ yang
dikemukakan ulama’ berawal dari pendapat pribadi atau sekelompok mujtahid dan
lainnya diam.
Lebih
lanjut Abu Zahra menyatakan alasan yang dikemukakan oleh ulama Hanfiyah dan
Hanabilah: Diamnya (sukut) para ulama tentang suatu hukum hasil ijtihad adalah
setelah mempelajari dan menganalisis hasil ijtihad tersebut, dan mempelajari
hasil ijtihad ulama lain adalah suatu kewajiban bagi para ulama’ dan jika
mereka diam saja maka hal tersebut menunjukkan persetujuannya.
Menurut
Al-Karkhiy dari madzhab hanafiyah dan Al-Amidi dari madzhab syafi’iyah bahwa
ijma’ sukuti adalah hujjah dzanniyah.
Lebih
lanjut Abu Zahra menyatakan alasan yang dikemukakan oleh ulama Hanfiyah dan
Hanabilah: Diamnya (sukut) para ulama tentang suatu hukum hasil ijtihad adalah
setelah mempelajari dan menganalisis hasil ijtihad tersebut, dan mempelajari
hasil ijtihad ulama lain adalah suatu kewajiban bagi para ulama’ dan jika
mereka diam saja maka hal tersebut menunjukkan persetujuannya.
Adalah
tidak layak jika ulama atau ahli fatwa tidak mendengar adanya fatwa lain, dan
ulama lain harus mempelajarinya dan menanggapinya jika ada kesalahan dalam
hasil ijtihadnya. Disamping itu, apabila para ulama’ lain yang tidak
mengeluarkan fatwa menganggap fatwa itu menyimpang dari nash atau metode yang
digunakan tidak sesuai dan mereka diam maka mereka berdosa.
Silahkan baca juga >>>>:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar