Makalah ini disusun guna memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Psikologi Islam
Disusun Oleh :
MUTOHAROH
FAKULTAS TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
- LATAR BELAKANG
- RUMUSAN MASALAH
- PEMBAHASAN MASALAH
- KESIMPULAN
- DAFTAR PUSTAKA
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadiran Allah SWT , kami dapat menyusun makalah
ini dengan harapan semoga Allah SWT selalu memberikan hidayahnya kepada kami.
Amin
Dalam penyusunan makalah ini, tidak
lupa kami ucapkan terimakasih kepada Bapak Imron , S.Ag.M.pd.I. selaku dosen
pengampu mata kuliah ini.
Semoga ini dapat bermanfaat bagi
semua pihak, kami juga sadar bahwa laporan yang kami buat mempunyai banyak
kekurangan. Oleh karena itu kami mohon saran dan kritik yang bersifat
membangun.
Demikian makalah kami, semoga dengan
makalah yang sederhana ini dapat mencapai tujuan yang diharapkan.
A. LATAR BELAKANG
Obyek ijma' ialah semua peristiwa atau kejadian yang
tidak ada dasarnya dalarn al-Qur'an dan al-Hadits, peristiwa atau kejadian yang
berhubungan dengan ibadat ghairu mahdhah (ibadat yanng tidak langsung ditujukan
kepada Allah SWT) bidang mu'amalat, bidang kemasyarakatan atau semua hal-hal
yang berhubungan dengan urusan duniawi tetapi tidak ada dasarnya dalam
al-Qur'an dan al-Hadits
B.
RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah tentang Ijma’ dalam ilmu ushul fiqh ini
antara lain sebagai berikut:
1. Tentang apa pengertian ijma’ ?
2. Bagaimana dasar hukum Ijma’ ?
3. Bagaimana rukun – rukun ijma’ ?
4. Bagaimana terjadinya ijma’ ?
5. Bagaimana terkait dengan
macam-macam dan objek ijma’?
Untuk lebih jelasnya mari kita lihat dalam pembahasan selanjutnya.
C.
PEMBAHASAN MASALAH
I.
PENGERTIAN IJMA’
Ijma' menurut bahasa Arab berarti kesepakatan atau
sependapat tentang sesuatu hal, seperti perkataan seseorang ()
yang berati "kaum itu telah sepakat (sependapat) tentang yang demikian
itu." [1]
Menurut istilah ijma', ialah kesepakatan mujtahid ummat
Islam tentang hukum syara' dari peristiwa yang terjadi setelah Rasulullah SAW
meninggal dunia. Sebagai contoh ialah setelah Rasulullah SAW meninggal dunia
diperlukan pengangkatan seorang pengganti beliau yang dinamakan khalifah. Maka
kaum muslimin yang ada pada waktu itu sepakat untuk mengangkat seorang khalifah
dan atas kesepakatan bersama pula diangkatlah Abu Bakar RA sebagai khalifah
pertama.[2]
Sekalipun pada permulaannya ada yang kurang menyetujui
pengangkatan Abu Bakar RA itu, namun kemudian semua kaum muslimin
menyetujuinya. Kesepakatan yang seperti ini dapat dikatakan ijma'.
II.
DASAR HUKUM IJMA’
Dasar hukum ijma' berupa aI-Qur'an, al-Hadits dan akal pikiran.
a. Al-Qur'an

Artinya:
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya
dan ulil amri diantara kamu." (an-Nisâ': 59) [3]
Perkataan amri yang terdapat pada ayat di atas berarti
hal, keadaan atau urusan yang bersifat umum meliputi urusan dunia
dan urusan agama. Ulil amri dalam urusan dunia ialah raja, kepala negara,
pemimpin atau penguasa, sedang ulil amri dalam urusan agama ialah para
mujtahid.
Dari ayat di atas dipahami bahwa jika para ulil amri itu
telah sepakat tentang sesuatu ketentuan atau hukum dari suatu peristiwa, maka
kesepakatan itu hendaklah dilaksanakan dan dipatuhi oleh kaum muslimin.

Artinya:
"Dan
berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah dan janganlah kamu
bercerai-berai." (Ali Imran: 103) [4]
Ayat ini memerintahkan kaum muslimin bersatu padu, jangan
sekali-kali bercerai-berai. Termasuk dalam pengertian bersatu itu ialah
berijma' (bersepakat) dan dilarang bercerai-berai, yaitu dengan menyalahi
ketentuan-ketentuan yang telah disepakati oleh para mujtahid.

"Dan barangsiapa yang menantang Rasul setelah jelas
kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang yang
beriman, Kami biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu
dan Kami masukan ia ke dalam jahannam dan jahannam itu seburuk-buruk tempat
kembali." (an-Nisâ': 115) [5]
Pada ayat di atas terdapat perkataan sabîlil mu'minîna
yang berarti jalan orang-orang yang beriman. Jalan yang disepakati
orang-orang beriman dapat diartikan dengan ijma', sehingga maksud ayat ialah: "barangsiapa
yang tidak mengikuti ijma' para mujtahidin, mereka akan sesat dan dimasukkan ke
dalam neraka."
b.
AI-Hadits
Bila para mujtahid telah melakukan ijma' tentang hukum syara'
dari suatu peristiwa atau kejadian, maka ijma' itu hendaklah diikuti, karena
mereka tidak mungkin melakukan kesepakatan untuk melakukan kesalahan apalagi
kemaksiatan dan dusta, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

Artinya: "umatku tidak akan bersepakat untuk
melakukan kesalahan." (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)
c.
Akal pikiran
Setiap ijma' yang dilakukan atas hukum syara', hendaklah
dilakukan dan dibina atas asas-asas pokok ajaran Islam. Karena itu setiap
mujtahid dalam berijtihad hendaklah mengetahui dasar-dasar pokok ajaran Islam,
batas-batas yang telah ditetapkan dalam berijtihad serta hukum-hukum yang telah
ditetapkan. Bila ia berijtihad dan dalam berijtihad itu ia menggunakan nash,
maka ijtihadnya tidak boleh melampaui batas maksimum dari yang mungkin dipahami
dari nash itu.
Sebaliknya jika dalam berijtihad, ia tidak menemukan
satu nashpun yang dapat dijadikan dasar ijtihadnya, maka dalam berijtihad ia
tidak boleh melampaui kaidah-kaidah umum agama Islam, karena itu ia boleh
menggunakan dalil-dalil yang bukan nash, seperti qiyas, istihsan dan
sebagainya.
Jika semua mujtahid telah melakukan seperti yang
demikian itu, maka hasil ijtihad yang telah dilakukannya tidak akan jauh
menyimpang atau menyalahi al-Qur'an dan al-Hadits, karena semuanya dilakukan
berdasar petunjuk kedua dalil ltu. Jika seorang mujtahid boleh melakukan seperti
ketentuan di atas, kemudian pendapatnya boleh diamalkan, tentulah hasil
pendapat mujtahid yang banyak yang sama tentang hukum suatu peristiwa lebih
utama diamalkan.
III.
RUKUN – RUKUN IJMA’
Dari definisi dan dasar hukum ijma' di atas, maka ulama ushul
fiqh menetapkan rukun-rukun ijma' sebagai berikut:
Harus ada beberapa orang mujtahid dikala terjadinya peristiwa
dan para mujtahid itulah yang melakukan kesepakatan (menetapkan hukum peristiwa
itu. Seandainya tidak ada beberapa orang mujtahid di waktu terjadinya suatu
peristiwa tentulah tidak akan terjadi ijma', karena ijma' itu harus dilakukan
oleh beberapa orang.
Yang melakukan kesepakatan itu hendaklah seluruh mujtahid
yang ada dalam dunia Islam. Jika kesepakatan itu hanya dilakukan oleh para
mujtahid yang ada pada suatu negara saja, maka kesepakatan yang demikian belum
dapat dikatakan suatu ijma'.
Kesepakatan itu harus dinyatakan secara tegas oleh setiap
mujtahid bahwa ia sependapat dengan mujtahid-mujtahid yang lain tentang hukum
(syara') dari suatu peristiwa yang terjadi pada masa itu. Jangan sekali-kali
tersirat dalam kesepakatan itu unsur-unsur paksaan, atau para mujtahid yang
diharapkan kepada suatu keadaan, sehingga ia harus menerima suatu keputusan.
Kesepakatan itu dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti
dengan pernyataan lisan, dengan perbuatan atau dengan suatu sikap yang
menyatakan bahwa ia setuju atas suatu keputusan hukum yang telah disetujui oleh
para mujtahid yang lain. Tentu saja keputusan yang terbaik ialah keputusan
sebagai hasil suatu musyawarah yang dilakukan para mujtahid.
Kesepakatan itu hendaklah merupakan kesepakatan yang bulat
dari seluruh mujtahid. Seandainya terjadi suatu kesepakatan oleh sebahagian
besar mujtahid yang ada, maka keputusan yang demikian belum pasti ke taraf
ijma'. Ijma' yang demikian belum dapat dijadikan sebagai hujjah syari'ah.
IV.
KEMUNGKINAN TERJADINYA
IJMA’
Jika diperhatikan sejarah kaum muslimin sejak zaman
Rasulullah SAW sampai sekarang, dihubungkan dengan kemungkinan terjadinya
ijma', maka ijma' dapat dibagi atas tiga periode, yaitu:
a.
Periode Rasulullah SAW;
b.
Periode Khalifah Abu Bakar Shiddiq
dan Khalifah Umar bin Khattab; dan
c.
Periode sesudahnya.
Pada masa Rasulullah SAW, beliau merupakan sumber hukum.
Setiap ada peristiwa atau kejadian, kaum muslimin mencari hukumnya pada
al-Qur'an yang telah diturunkan dan hadits yang telah disabdakan oleh
Rasulullah SAW. Jika mereka tidak menemukannya dalam kedua sumber itu, mereka
langsung menanyakannya kepada Rasulullah. Rasululah adakalanya langsung
menjawabnya, adakalanya menunggu ayat al-Qur'an turunkan Allah SWT. Karena itu
kaum muslimin masih satu, belum nampak perbedaan pendapat yang menetapkan hukum
suatu peristiwa atau kejadian yang mereka alami.
Setelah Rasulullah SAW meninggal dunia, kaum muslimin kehilangan
tempat bertanya, namun mereka telah mempunyai pegangan yang lengkap, yaitu
al-Qur'an dan al-Hadits. Jika ada kejadian atau peristiwa yang memerlukan
penetapan hukum, mereka berijtihad, tetapi belum ada bukti yang nyata bahwa
mereka telah berijma'. Seandainya ada ijma' itu, kemungkinan terjadi pada masa
khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar atau sedikit kemungkinan pada masa enam tahun
pertama Khalifah Utsman. Hal ini adalah karena pada masa itu kaum muslimin
masih satu, belum ada perbedaan pendapat yang tajam diantara kaum muslimin,
disamping daerah Islam belum begitu luas, masih mungkin mengumpulkan para
sahabat atau orang yang dipandang sebagai mujtahid.
Setelah enam tahun bahagian kedua kekhalifahan Utsman,
mulailah nampak gejala-gejala perpecahan di kalangan kaum muslimin. Hal ini
dimulai dengan tindakan Utsman mengangkat anggota keluarganya sebagai penjabat
jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan (nepotisme). Setelah Khalifah Utsman
terbunuh, perpecahan di kalangan kaum muslimin semakin terjadi, seperti
peperangan antara Ali bin Abi Thalib dengan Mu'awiyah bin Abu Sofyan,
peperangan antara Ali bin Abi Thalib dengan Aisyah yang terkenal dengan perang
Jamal, timbul golongan Khawarij, golongan Syi'ah golongan Mu'awiyah dan
sebagainya. Demikianlah perselisihan dan perpecahan itu terjadi pula semasa
dinasti Amawiyah, semasa dinasti Abbasiyah, semasa dinasti Fathimiyah dan
sebagainya, sehingga dana dan tenaga umat Islam terkuras dan habis karenanya.
Disamping itu daerah Islam semakin luas, sejak dari Asia
Tengah (Rusia Selatan sekarang) sampai kebagian tengah benua Afrika, sejak
ujung Afrika Barat sampai Indonesia, Tiongkok Selatan, Semenanjung Balkan dan
Asia Kecil. Karena itu amat sukar melakukan ijma' dalam keadaan dan luas daerah
yang demikian.
Dari keterangan di atas dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut:
Ijma'
tidak diperlukan pada masa Nabi Muhammad SAW;
Ijma' mungkin terjadi pada masa Khalifah Abu Bakar, Khalifah
Umar bin Khattab, dan enam tahun pertama Khalifah Utsman; dan c. Setelah masa
enam tahun kedua pemerintahan Khalifah Utsman sampai saat ini tidak mungkin
terjadi ijma' sesuai dengan rukun-rukun yang telah ditetapkan di atas,
mengingat keadaan kaum muslim yang tidak bersatu serta luasnya daerah yang
berpenduduk Islam.
Pada masa sekarang telah banyak berdiri negara-negara Islam
yang berdaulat atau suatu negara yang bukan negara Islam tetapi penduduknya
mayoritas beragama Islam atau minoritas penduduknya beragama Islam. Pada
negara-negara tersebut sekalipun penduduknya minoritas beragama Islam, tetapi
ada peraturan atau undang-undang yang khusus bagi umat Islam. Misalnya India,
mayoritas penduduknya beragama Hindu, hanya sebagian kecil yang beragama Islam.
Tetapi diberlakukan undang-undang perkawinan khusus bagi umat Islam.
Undang-undang itu ditetapkan oleh pemerintah dan parlemen India setelah
musyawarah dengan para mujtahid kaum muslimin yang ada di India. Jika
persepakatan para mujtahid India itu dapat dikatakan sebagai ijma', maka ada
kemungkinan terjadinya ijma' pada masa setelah Khalifah Utsman sampai sekarang
sekalipun ijma' itu hanya dapat dikatakan sebagai ijma' lokal.
Jika demikian dapat ditetapkan definisi ijma', yaitu
keputusan hukum yang diambil oleh wakil-wakil umat Islam atau para mujtahid
yang mewakili segala lapisan masyarakat umat Islam. Karena dapat dikatakan
sebagai ulil amri sebagaimana yang tersebut pada ayat 59 surat an-Nisâ'
atau sebagai ahlul halli wal 'aqdi. Mereka diberi hak oleh agama Islam
untuk membuat undang-undang atau peraturan-peraturan yang mengatur kepentingan-kepentingan
rakyat mereka.
Hal yang demikian dibolehkan dalam agam Islam. Jika agama
Islam membolehkan seorang yang memenuhi syarat-syarat mujtahid untuk
berijtihad, tentu saja beberapa orang mujtahid dalam suatu negara boleh pula
bersama-sama memecahkan permasalahan kaum muslimin kemudian menetapkan suatu
hukum atau peraturan. Pendapat sebagai hasil usaha yang dilakukan orang banyak
tentu lebih tinggi nilainya dari pendapat yang dilakukan oleh orang seorang.
V.
MACAM – MACAM IJMA’
Sekalipun sukar membuktikan apakah ijma' benar-benar terjadi,
namun dalam kitab-kitab fiqh dan ushul fiqh diterangkan macam-macam ijma'.
Diterangkan bahwa ijma' itu dapat ditinjau dari beberapa segi dan tiap-tiap
segi terdiri atas beberapa macam.
Ditinjau
dari segi cara terjadinya, maka ijma' terdiri atas:
a.
ljma' bayani, yaitu
para mujtahid menyatakan pendapatnya dengan jelas dan tegas, baik berupa ucapan
atau tulisan. Ijma' bayani disebut juga ijma' shahih, ijma' qauli atau ijma'
haqiqi;
b.
Ijma' sukuti, yaitu
para mujtahid seluruh atau sebahagian mereka tidak menyatakan pendapat dengan
jelas dan tegas, tetapi mereka berdiam diri saja atau tidak memberikan reaksi
terhadap suatu ketentuan hukum yang telah dikemukakan mujtahid lain yang hidup
di masanya. Ijma' seperti ini disebut juga ijma' 'itibari.
Ditinjau dari segi yakin atau tidaknya terjadi suatu
ijma', dapat dibagi kepada:
a)
ljma' qath'i, yaitu hukum
yang dihasilkan ijma' itu adalah qath'i diyakini benar terjadinya, tidak ada
kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan
berbeda dengan hasil ijma' yang dilakukan pada waktu yang lain;
b)
ljma' dhanni, yaitu hukum
yang dihasilkan ijma' itu dhanni, masih ada kemungkinan lain bahwa hukum dari
peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijtihad
orang lain atau dengan hasil ijma' yang dilakukan pada waktu yang lain.
Dalam kitab-kitab fiqh terdapat pula beberapa macam ijma'
yang dihubungkan dengan masa terjadi, tempat terjadi atau orang yang
melaksanakannya. Ijma'-ijma' itu ialah:
a)
Ijma' sahabat, yaitu ijma'
yang dilakukan oleh para sahabat Rasulullah SAW;
b)
Ijma' khulafaurrasyidin,
yaitu ijma' yang dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali bin
Abi Thalib. Tentu saja hal ini hanya dapat dilakukan pada masa ke-empat orang
itu hidup, yaitu pada masa Khalifah Abu Bakar. Setelah Abu Bakar meninggal
dunia ijma' tersebut tidak dapat dilakukan lagi;
c)
Ijma' shaikhan, yaitu ijma'
yang dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar bin Khattab;
d)
Ijma' ahli Madinah, yaitu
ijma' yang dilakukan oleh ulama-ulama Madinah. Ijma' ahli Madinah merupakan
salah satu sumber hukum Islam menurut Madzhab Maliki, tetapi Madzhab Syafi'i
tidak mengakuinya sebagai salah satu sumber hukum Islam;
e)
Ijma' ulama Kufah, yaitu
ijma' yang dilakukan oleh ulama-ulama Kufah. Madzhab Hanafi menjadikan ijma' ulama Kufah sebagai salah
satu sumber hukum Islam.
IV.
OBYEK IJMA’
Obyek ijma' ialah semua peristiwa atau kejadian yang tidak
ada dasarnya dalarn al-Qur'an dan al-Hadits, peristiwa atau kejadian yang
berhubungan dengan ibadat ghairu mahdhah (ibadat yanng tidak langsung ditujukan
kepada Allah SWT) bidang mu'amalat, bidang kemasyarakatan atau semua hal-hal
yang berhubungan dengan urusan duniawi tetapi tidak ada dasarnya dalam
al-Qur'an dan al-Hadits.
D.
KESIMPULAN
Dapat diambil kesimpulan bahwa
Ijma’ ialah kesepakatan mujtahid ummat Islam tentang hukum syara' dari
peristiwa yang terjadi setelah Rasulullah SAW meninggal dunia.
Ijma bisa di lakukan
kepada semua peristiwa atau kejadian yang tidak ada dasarnya dalan al-Qur'an
dan al-Hadits, peristiwa atau kejadian yang berhubungan dengan ibadat ghairu
mahdhah (ibadat yanng tidak langsung ditujukan kepada Allah SWT) bidang
mu'amalat, bidang kemasyarakatan atau semua hal-hal yang berhubungan dengan
urusan duniawi tetapi tidak ada dasarnya dalam al-Qur'an dan al-Hadits.
Akan tetapi
harus melalui serangkaian syarat
rukun yang telah di tetapkan
dalam ilmu fiqh.
E.
PENUTUP
Demikianlah makalah ini kami sampaikan, terhadap
segala kekurangan dan kesalahan, penyusun mohon maaf yang sebesar-besarya. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan sebagai media
pembelajaran untuk peningkatan pengetahuan dan intelektualitas penyusun.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk membuka
cakrawala pemikiran dan pengetahuan bagi kami khususnya dan bagi para
pembaca umumnya, selebihnya kami ucapkan terima kasih. Wallahu A’lam
Bissowaab.
DAFTAR PUSTAKA
http://puengen-pinter.blogspot.com/2012/04/ushul-fiqh-ijma-dan-qiyas.html
http://makalah-gratis.blogspot.com/2007/09/ijma-ushul-fiqh.html
Terjamah Al-qur’an, Kementerian Agama RI, tahun 2012
[1]
http://makalah-gratis.blogspot.com/2007/09/ijma-ushul-fiqh.html
[2] Ibid..
[3] Terjamah
Al-qur’an, Kementerian Agama RI, tahun 2012
[4] Ibid.
[5] Ibid
Silahkan baca juga >>>>:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar